Beranda | Artikel
ISRA dan MIRAJ
Minggu, 27 Februari 2022

Peristiwa Isrâ’1 dan Mi’râj2 merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah سبحانه وتعالى kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ , sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau ﷺ mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâif.

Peristiwa Isrâ dan Mi’râj terjadi sebelum hijrah. Namun para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada perselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur‘ân dan Al-Hadits. Allah سبحانه وتعالى menyebutkan peristiwa ini di dua tempat dalam Al- Qur‘ân, yaitu al-Isrâ’/17 ayat 1 dan an-Najm/53 ayat 13-18.

Peristiwa ini terjadi di Makkah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits. Imam al-Bukhâri memiliki 20 riwayat dari enam sahabat رضي الله عنهم . Imam Muslim رحمه الله memiliki 18 riwayat dari tujuh sahabat رضي الله عنهم . Di antara hadits ini, tidak ada satu pun yang menjelaskan secara lengkap semua kejadian Isrâ‘ dan Mi’râj ini dari awal sampai akhir, tetapi masing-masing menceritakan bagian per-bagian.

Berdasarkan kandungan hadits dari riwayat-riwayat yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

  1. Adanya pembelahan dada Nabi Muhammad ﷺ .

Usai melaksanakan shalat ‘Isyâ` pada malam penuh barakah itu, Malaikat Jibril عليه السلام mendatangi Nabi ﷺ untuk membedah dada beliau ﷺ , lalu ia mencucinya menggunakan air Zam-am. Kemudian dibawakan bejana emas penuh dengan hikmah dan iman lalu dituangkan ke dada Nabin. Setelah itu, Malaikat Jibril menutup kembali dada Nabi ﷺ dan dibawanya naik ke langit.3

  1. Isrâ‘.

Dari Anas رضي الله عنه , Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diberi Buraq, yaitu seekor hewan putih yang lebih besar dari himar dan lebih kecil dari bighal. Aku mengendarainya. Dia membawaku hingga sampai ke Baitul-Maqdis. Lalu aku mengikatnya di tempat para nabi menambatkan. Aku masuk ke Baitul-Maqdis dan shalat dua raka’at. Setelah itu aku keluar. Malaikat Jibril menghampiriku dengan membawa satu wadah berisi khamr dan satu wadah berisi susu. Aku memilih susu. Malaikat Jibril عليه السلام berkata: ‘Engkau telah (memilih) sesuai dengan fithrah,’ setelah itu, ia membawaku naik ke langit”.4 Dan dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi ﷺ shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit.5

  1. Mi’râj.

Beliau ﷺ dibawa naik melewati beberapa langit. Pada setiap langit, Malaikat Jibril minta agar dibukakan pintu langit lalu ia ditanya: “Siapakah yang bersamamu?” Jibril عليه السلام menjawab,”Muhammad,” penghuni langit itu pun menyambutnya.

Di langit dunia, Nabi Muhammad ﷺ berjumpa dengan Nabi Adam عليه السلام , di langit kedua berjumpa dengan Nabi Isâ عليه السلام dan Nabi Yahya عليه السلام , di langit ketiga berjumpa dengan Nabi Yûsuf عليه السلام , di langit keempat dengan Nabi Idris عليه السلام , di langit kelima dengan Nabi Hârûn عليه السلام , di langit keenam dengan Nabi Musâ عليه السلام , dan di langit ketujuh berjumpa dengan Nabi Ibrâhîm عليه السلام yang sedang bersandar pada Baitul-Ma’mûr. Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan sampai ke Shidratul-Muntahâ (langit tertinggi). Di sinilah, Allah سبحانه وتعالى mewajibkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya untuk menegakkan shalat 50 kali sehari semalam.

Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi’râj ini, ketika sampai di tempat Nabi Musâ عليه السلام , beliau ﷺ ditanya: “Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?” Rasulullah ﷺ menjawab pertanyaan ini, sehingga Nabi ﷺ Musâ عليه السلام meminta kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah ﷺ melaksanakan saran itu, dan Allah سبحانه وتعالى pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah ﷺ hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ عليه السلام , beliau عليه السلام meminta Rasulullah Muhammad ﷺ agar meminta keringanan lagi, dan saran itu pun dilaksanakan Rasulullah ﷺ sampai Allah سبحانه وتعالى berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ عليه السلام meminta Nabi Muhammad ﷺ memohon keringanan lagi, maka Rasulullah ﷺ berkata: “Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa malu,” lalu terdengar suara: “Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan, dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku”.6

  1. Perjalanan kembali dari Mi’râj.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa perjalanan kembali Rasulullah menempuh rute dari langit tertinggi menuju Baitul-Maqdis lalu ke Makkah.7 Adapun sarana yang dipakai Rasulullah ﷺ saat Isrâ’ ialah Buraq.

Dari riwayat-riwayat tentang Mi’raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang menceritakan peristiwa ini menggunakan fi’il majhûl (kata kerja pasif), sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Dipasangkan mi’râj untukku”. Sehingga Ibnu Katsîr رحمه الله mengatakan perihal itu dengan perkataannya:8 “Mi’râj, ialah tangga. Nabi ﷺ naik menuju langit melalui tangga itu, bukan dengan Burâq sebagaimana persangkaan sebagian orang”.

SIKAP ORANG-ORANG QURAISY MENANGGAPI PERISTIWA ISRA’ DAN MI’RAJ

Pada pagi hari setelah peristiwa ini, Rasulullah ﷺ nampak merasa susah karena khawatir dianggap berdusta oleh kaumnya. Dalam keadaan seperti ini, beliau ﷺ dihampiri oleh Abu Jahl yang menanyakan keadaannya. Rasulullah pun memberitahukan tentang Isrâ‘.

Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika Nabi Muhammad ﷺ telah berdusta. Namun penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata: “Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau sampaikan kepadaku?”

Rasulullah ﷺ menjawab,”Ya,” maka Abu Jahl bergegas memanggil kaum Quraisy. Setelah mereka datang, Abu Jahl meminta kepada Rasulullah ﷺ agar menceritakan yang telah ia alami. Rasulullah ﷺ menceritakannya.

Orang-orang Quraisy pun terheran mendengar cerita beliau ﷺ . Di antara mereka ada yang pernah melihat Masjid al-Aqshâ, maka orang-orang ini pun meminta Nabi ﷺ menceritakan sifat Masjidil-Aqshâ. Lalu Allah سبحانه وتعالى menampakkan masjid itu, sehingga dilihat oleh Rasulullah ﷺ , dan beliau ﷺ menceritakan sifat-sifatnya. Mendengar penjelasan Rasulullah ﷺ , mereka pun berseru:”Demi Allah, keterangannya benar”.9

Dalam sebuah riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengingkari kepergian Rasulullah ﷺ ke Syam lalu kembali lagi ke Makkah yang hanya dalam waktu satu malam saja. Karena perjalanan itu biasa ditempuh jarak waktu dua bulan. Sehingga ada sebagian orang yang kemudian murtad saat itu.10

Berbeda dengan Sahabat Abu Bakr رضي الله عنه . Begitu diberitahu peristiwa itu, beliau رضي الله عنه langsung mempercayainya tanpa ragu sedikit pun, seraya berkata: “Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!”

Abu Bakr رضي الله عنه pun kemudian mendatangi Nabi ﷺ menanyakan peristiwa yang telah didengarnya. Dan demikianlah keadaan Sahabat Abu Bakr رضي الله عنه , setiap Rasulullah ﷺ menceritakan sesuatu, maka beliau رضي الله عنه berkata: “Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah…,” lalu Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Abu Bakr, engkau adalah shiddiq,” dan mulai saat itulah beliau رضي الله عنه dinamai ash-Shiddiq. Artinya orang yang selalu percaya.11

ISRA’ DAN MI’RAJ DENGAN RUH DAN JASAD

Masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana dikatakan oleh al-Qâdhi ‘Iyâdh, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah. Ada yang mengatakan, semua itu hanya terjadi dalam mimpi. Adapun pendapat yang benar yang dipegangi oleh umat dan sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta’akhhirîn baik ahli fiqih, ahli hadits maupun ahli ilmu kalam, bahwa Isrâ’ yang dialami Rasulullah ﷺ ialah dengan jasadnya.

Ibnu Hajar12 berkata: “Sesungguhnya Isrâ’ dan Mi’râj terjadi dalam waktu satu malam dengan jasad dan fisik Rasulullah ﷺ dalam keadaan beliau tersadar ﷺ , terjadi setelah diangkat menjadi nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih menunjukkan hal itu. Dan tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal tidak memiliki alasan untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu dita’wil ….”

Jika peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula, tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj itu, sama sekali tidak memiliki nilai mu’jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah سبحانه وتعالى , yang artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al- Masjidil-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs al Isrâ‘/17 ayat 1).

Permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat “bi ‘abdihi”, memiliki makna gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Urjûn,13 dan yang lainnya.

PELAJARAN DARI KISAH ISRA’ DAN MI’RAJ

  1. Riwayat Isrâ’ dan Mi’râj telah disepakati keshahihannya oleh ulama ahli hadits dan sirah. Juga telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‘an, hadits-hadits shahih, dan Ijma’ kaum muslimin. Peristiwa ini termasuk salah satu mu’jizat yang diterima Rasulullah ﷺ . Barang siapa mengingkari peristiwa ini, berarti ia telah mengingkari sesuatu yang ma’lûm bid-dharûrah (diketahui secara pasti).
  2. Peristiwa yang terjadi setelah beberapa ujian menimpa Rasulullah ﷺ ini, bertujuan untuk memperteguh semangat Rasulullah ﷺ . Juga sebagai isyarat bahwa penderitaan yang beliau ﷺ alami bukan karena Allah سبحانه وتعالى meninggalkannya, akan tetapi sebagai sunnatullah bagi orang-orang yang dicintai-Nya.
  3. Penyebutan antara Masjidil-Harâm, Masjidil-Aqshâ dan Mi’raj secara berurutan merupakan bukti yang menunjukkan tingginya kedudukan Masjidil-Aqshâ.
  4. Ketika dibawakan kepada Rasulullah ﷺ berupa khamr dan susu, beliau ﷺ memilih susu. Ini menunjukkan bahwa Islam itu din (agama) yang sesuai fithrah.
  5. Allah سبحانه وتعالى mengumpulkan para rasul pembawa risalah untuk menyambut kedatangan pembawa risalah terakhir. Ini menunjukkan bahwa para nabi itu saling membenarkan, dan Nabi Muhammad ﷺ merupakan rasul terakhir, serta menunjukkan tingginya kedudukan Muhammad ﷺ di sisi Rabbnya.
  6. Menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar di langit dan bumi memberikan pengaruh dan motivasi yang kuat, sehingga tidak khawatir terhadap tipu daya kaum kuffar yang hakikatnya sangat lemah.
  7. Diwajibkan shalat fardhu pada malam Mi’raj merupakan bukti betapa penting rukun Islam ini. Oleh karena itu, semestinya shalat bisa membebaskan manusia dari godaan nafsu syahwat dan tujuan-tujuan dunia.

*) Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Nusadi dari as-Sîratun Nabawiyah fi Dhau-il Mashâdiril ashliyyah, karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, hal 233-241

1 Isrâ’, yaitu perjalanan Nabi Muhammad ﷺ yang dimulai dari al-Masjidil-Haram sampai ke al-Masjidil-Aqshâ.

2 Mi’râj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad ﷺ naik dari al-Masjidil-Aqshâ menuju Sidratul-Muntahâ (langit tertinggi).

3 Lihat Imam al-Bukhâri/al-Fath, 17/284, no. 4709, 4710 dan 15-43-70, no. 3886, 3888, juga 18/242, no. 4856, 4858. Imam Muslim, 1/148, no. 163, 1/151, no. 164. Ibnu Asâkir dalam Tahdzîb Târîkh Dimasq, 1/386-387. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab as-Sîrah.

4 HR Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/251-252 dan sanadnya shahîh. Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5576. Imam Muslim, 1/145 no. 162. Lihat juga Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5610.

5 Diriwayatkan oleh al-Baihaqî dalam ad-Dalâil, 2/388. Doktor Qal’ah Jay dalam Khâsyiyah berkata: “Riwayat-riwayat tentang Nabi ﷺ shalat bersama para nabi sebelum mi’râj saling menguatkan”. Ibnu Hajar berkata: “Itulah yang lebih jelas”. Beliau t juga berkata: “Jumhûr sahabat menetapkan bahwa Nabi ﷺ shalat di Baitul-Maqdis”. Lihat hadits tentang bab ini dalam al-Fathur-Rabbâni, karya Imam Ahmad 20/244-264, beberapa bab tentang kisah Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullahn .

6 Al-Bukhâri dalam al-Fath, 13/24, no. 3207. Muslim, 1/149, no. 163. Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/247-248 dari hadits Anas bin Mâlik bin Sha’sha’ah رضي الله عنه , dan sanadnya shahîh. Imam an-Nasâ’i, 1/217.

7 Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalâil, 2/355-357 dari riwayat at-Tirmidzi t dengan sanad beliau yang bersambung sampai ke Syadâd bin Aus. Al-Baihaqi berkata: “Ini adalah sanad yang shahih”.

8 Al-Bidâyatu wan-Nihâyah, 3/122.

9 Al-Bukhâri dalam al-Fath, 17/284, no. 4710. Muslim, 1/156, no. 170. Ahmad, al-Fathur-Rabbâni, 20/262-263 dari hadits Abbâs dengan sanad shahih. Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad.

10 Lihat Ibnu Hisyâm, 2/45 dari riwayat Ibnu Ishâq secara mu’allaq. Kabar tentang murtadnya sebagian orang terdapat dalam hadits-hadits shahîh, di antaranya hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam al Mustadrak (3/62-63), dan beliau t menyatakan hadits ini shahîh. Ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

11 Diriwayatkan al Hakim dalam al-Mustadrak, 3/62-63. Beliau berkata: “Hadits ini sanadnya shahîh, namun tidak dibawakan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim”. Ini disepakati oleh adz-Dzahabi dalam Talkhîs al-Mustadrak.

12 Al-Fath, 15/44, Kitab: al-Mab’ats, Bab: Hadîtsul Isrâ’.

13 Muhammad Rasulullah ﷺ , 2/342-350

Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/isra-dan-miraj/